Disini kami kehilangan salah seorang dari jamaah surau yang aktif, bahkan sangat aktif. Ammu Ahmad, begitulah namanya, saya baru tahu namanya saat Ummu Walid memberitahu. Badannya tegap, paruh baya, suaranya mantap, dan ia gunakan kelebihannya tersebut untuk kepentingan surau kecil bawah rumah kami, yaitu sebagai muadzin. Biasanya ia datang ke surau sebelum waktu azan tiba, lalu ketika terdengar suara azan bersahut-sahutan di cakrawala, ia memulai tugasnya, mengajak para hamba Allah untuk menunaikan shalat (hayya alash shalah), dan mengajak pada kejayaan (hayya alal falah).

Berminggu-minggu, berbulan-bulan, mungkin sudah genap setahun, ia tak kenal lelah untuk menunaikan tugasnya. Tanpa imbalan sesenpun, bahkan ia sendiri yang memohon kepada Pakcik Hussein (pemilik surau) untuk bisa mengumandangkan azan. Saya juga baru tahu dari Ummu Walid (istri Pakcik Hussein) kalau dia yang memohon untuk azan, saat saya dan seorang kawan dipanggil ke rumahnya. "Janna.. Janna ..," begitu ujar Ummu Walid. "Barangkali Ahmad sudah merasa bahwa ia akan pergi, oleh karena itu dia meminta kunci surau pada Pakcik Hussein setahun yang lalu untuk bisa mengajak orang lain pada kebaikan lewat kumandang azan," lanjutnya.

Ya.. Sejak kemarin kami sudah tak melihat Ammu Ahmad lagi untuk selamanya. Yang kami lihat saat ini hanya sisa bayang-bayangnya yang tertempel di pintu surau, di depan mikrophon, dan di sela-sela shaf pertama. Cakrawala telah menjadi saksi atas keikhlasannya. Allahummaghfir lahu warhamhu.

Ia bukan seorang Lc dari Al-Azhar, apalagi MA atau DR. Ia tak kenal Jam'ul Jawami'nya As-Subki, ia tak tahu Isra'iliyat dalam tafsir, apalagi hermeunitika. Ia hanya tukang potong ayam biasa, tapi ia tahu jalan, lalu ia tak kenal lelah menempuh jalannya. Dan tepat kemarin.. ia telah sampai. Andai saja ia tahu bahwa kami sekarang saling 'melempar' kunci surau.

Comments

Popular Posts