"Ya mungkin karena mungkin memang mereka senang kalau saya tampil bodoh. Ya memang benar. Orang kan senang kalau disanjung-sanjung. Kalau saya sih lebih senang njelek-njelekin diri sendiri. Soalnya dari situ saya dapat duit. Kalau nggak dapat duit ya percuma," kata Tukul Arwana.

Salah satu profesi jaman sekarang; lempar gunjingan, olok2an, yang sini ketawa kegirangan, yang situ susah harga dirinya diolok2 sambil tersenyum kecut. Dan naifnya, yang susah malah bilang, "soalnya dari situ saya dapat duit". Beginilah potret kesenjangan yang terdapat pada acara Empat Mata yang bagiku kurang memiliki unsur positif apalagi edukatif didalamnya selain 'benar-benar ngocol perut'. Disadari atau tidak, dibalik tawa2 yang meledak tersebut tersimpan kedzaliman atas kehormatan orang lain, bukan cuman Tukul (terutama saat session baca email lengkap dengan gambar2 noraknya), tapi juga buat orang2 desa, bahkan budaya Jawa yang dikesankan oleh Tukul sendiri (sayang sekali!) sebagai Katro atau Ndeso. Disadari atau tidak, akan lahir persepsi publik bahwa yang selalu keren adalah kota dan yang selalu jelek adalah desa.

Comments

Popular Posts