Aku baru saja pulang dari gang Qasr El-Shouk kawasan Gamaliyah. Kalo nama gang itu diterjemahkan berarti; Istana Kerinduan. Nama itu mirip dengan hikayat-hikayat dalam Kisah Seribu Satu Malam. Tapi memang begitulah namanya, dan ini alam nyata, bukan dongeng belaka! Meski begitu, gang itu pernah difiktifkan oleh Najib Mahfudz dalam novelnya Bainal Qasrayn, maklum saja, Najib kan warga kampung Gamaliyah, ide ceritanya tentu takkan terlepas jauh dari lingkungan sekitarnya. Gang itu kumuh, sempit, dan ramai, tapi memang disitulah letak keantikannya. Lebarnya mungkin hanya 5 meteran, alas jalannya masih tanah tapi agak keras dan tidak rata, bangunan2nya kuno dan saling berdempetan, mirip kampungku yang di Solo, meski yang ini lebih antik. Sewaktu aku menyusur gang2 untuk pulang, beberapa orang tua duduk bersantai di pinggir jalan, sambil ngobrol entah apa. Begitu juga di depan masjid kecil tua peninggalan dinasti Mamalik, tampak berjejer anak2 muda asyik duduk2an di atas Vespa, bercakap2 antar sesama dengan bahasa yang baru aku kuasai setengah matang.

Aku tetap menyusur gang2 yang ada di situ untuk keluar ke masjid Hussein dan meneruskan jalan ke Atabah. Sambil tengok kanan-kiri, tak sengaja aku melihat sebuah papan di atas bangunan yang posisinya agak rendah dari ruas jalan, tertulis, Ini makam Fatimah binti Hussein. Allahumma Shalli 'Ala Muhammad, aku jadi teringat cucu kanjeng Rasul yang sudah lama tidak kuziarahi, Hussein karramallahu wajhah, betapa kadang manusia lupa akan seseorang yang dicintanya, bukankah hanya di negeri ini, kesempatan untuk menyambangi keluarga2 kanjeng Nabi bisa terealisasi, tetapi ternyata sifat lupa memang tak hanya dimiliki oleh nabi Adam saja, wa laqad ahidna ila adama min qablu fa nasiya (Thaha), cicit keturunannya pun mewarisi sifat itu. Namun malam semakin larut, hanya shalawat saja yang bisa kuucapkan saat pada kemudian melewati masjid Hussein, dan aku meneruskan perjalanan ke stasiun metro Atabah. Banyak turis2 masih beralalu lalang di kawasan Hussein. Jalan2 masih ramai dan lampu2 kios gemerlapan. Toko2 papyruz dan souvenir mesir masih banyak yang buka, lengkap dengan promosi2nya yang terkadang keterlaluan. Khan El-Khalily terlihat antik dan temaram, memang benar kata orang2, bahwa Cairo itu seperti bencong, dia terlihat cantik hanya di waktu malam.

Jalan penuh dengan manusia yang saling berdesakan, dan aku tetap menembus kerumunan orang2 yang lalu lalang seperti saat aku menembus keramaian pasar Klewer bersama ibuku dulu. Mobil2 pun tak kalah padatnya bersaing dengan manusia yang ada, hanya saja ruang gerak mereka lebih terbatas dibanding para pejalan kaki. Sambil menyusur, tak sengaja ada seorang lelaki tanggung menabrakku, lalu dia bilang, Sorry..sorry! Mungkin dia kira aku turis yang sedang melancong, orang2 negeri ini memang terkadang tak bisa membedakan mana yang turis dan mana yang sutris! dan aku hanya mengangguk saja.

Sampai di kawasan Mouski, kesibukan lalu lintas tak kunjung reda, baik yang lalu mobil2 dan angkutan, atau yang lintas jubelan2 manusia yang hendak menuju peraduannya. Di tengah2 itu, aku terus menerobos sebisa mungkin agar sesegera mungkin bisa sampai di stasiun metro Atabah. Lalu tiba-tiba, ada seseorang berjubah dan berjenggot lebat memoles leherku dengan parfum yang dijualnya. Aku sempat kaget dengan dia, sambil bertanya2 dalam hati apa maksud dia, tanpa isyarat apa2 memoles leherku dengan parfum yang dijualnya, tapi biarlah, aku hanya husnudzan saja bahwa dia berniat baik, bukan hendak meneror seorang sutris yang berpenampilan turis. Kalo di kampungku, orang seperti dia; yang berjubah tanpa isbal, berjenggot lebat, memakai sorban, apalagi bertampang arab, tentu sudah menjadi wali, tiap orang bakal datang kepadanya sambil membawa botol aqua agar dibacai kalimat2 arab, atau mungkin tangannya dicium2 sampai kempes agar barakahnya menular ke mereka. Tapi sayang, orang berjenggot lebat itu ditakdirkan oleh Maha Kuasa untuk lahir di tanah anbiya', meski jenggotnya selutut kaki, dan sorbannya sebesar sarang tawon, ia tetap saja jadi penjual parfum jalanan.

Jalanan terus terlihat ramai sampai aku berhasil turun ke stasiun Atabah, tapi begitu sampai di halte, ternyata puluhan orang sudah ikut menghadang metro yang tak kunjung tiba. Saat tiba, puluhan orang berdesak2an ingin masuk ke metro, dan yang berada di dalam pun tak ingin kalah untuk bisa keluar. Suasana gaduh, penuh sesak, lengkap dengan makian antar penumpang. Duh Gusti! aku jadi teringat ungkapan seorang filosof Yunani yang dikutip oleh Soe Hok Gie (bi tasharruf); nasib terbaik adalah tidak naik metro, yang kedua naik metro tapi cepat turun, dan yang tersial adalah yang harus melewati 25 stasiun. Bahagialah mereka yang turun di stasiun depan! Ah, sudahlah, dalam hidup ini selalu saja ada bagian2 yang mau tak mau harus ditapaki, meski sambil dengan menelan ludah 99 kali....

Comments

Popular Posts