Ada beberapa point yang menyebabkan kurikulum dunia pendidikan Islam menjadi kacau menurut Dr. Ahmad Syalabi dalam bukunya Tarikh Al-Manahij Al-Islamiyah;

(1) semakin terkiikisnya materi2 Islam yang cukup berperan, yang dimaksudkan disini adalah materi perbandingan agama dan materi peradaban Islam. Keduanya penting untuk menumbuhkan wawasan keagamaan yang luas.

(2) masuknya materi2 yang telah dipenuhi berbagai kejanggalan ke dalam kurikulum, sebagai contoh dalam bidang tafsir, dimasukkannya tafsir2 yang penuh dengan Israilyyat di dalam materi kurikulum seperti tafsir Nasafy atau Ibnu Katsir dll. Dalam bidang fiqh, terlalu banyak materi yang sifatnya perincian yang kurang bermanfaat, padahal ada yang lebih perlu ditekankan, yaitu hikmah pensyariatan (hikmah tasyri'). Dalam bidang bahasa Arab, penekanan untuk merasakan keindahan (dzauq lughawy) bahasa kurang, dan justru pendalaman tentang kaidah bahasa (nahwu & sharf) terkesan lebih dominan dan dipelajari sedetail2nya sampai ke permasalahan perbedaan pendapat ahli bahasa (ikhtilaf madarisl lughah) yang justru menambah kebingungan para pembelajar, padahal idealnya kaidah bahasa hanya untuk meladeni bagaimana cara membaca, memahami, dan menulis secara benar sebagaimana yang disampaikan Al-Jahidz dan Ibnu Hazm, jadi sangat terkesan bahwa ngotak atik Alfiyah Ibnu Malik itu lebih penting daripada menikmati gaya bahasa Al-Aghani milik Al-Ishfahany atau Al-Iqd Al-Farid milik Ibnu Abdi Rabbih .

(3) menyusupnya ilmu2 baru yang menamakan dirinya dengan ilmu Islam padahal bukan dari Islam. Kritikan pedas ditujukan buat ilmu kalam, mantiq dan filsafat, beliau mengambil sampel kitab Syarh As-Sulam milik Al-Malawy dan Tuhfath Al-Murid milik Al-Baijury yang terlalu banyak istilah maupun konsep yang justru malah membingungkan, bukan memahamkan.

Lalu beliau mengajak untuk kembali mempelajari ilmu Islam dengan metode yang lebih ideal. Beberapa solusi yang dilontarkan untuk mengganti kitab2 tersebut untuk dimasukkan ke dalam kurikulum ma'ahid Islamiyah dalam bidang tafsir beliau mencontohkan; At-Tafsir Al-Washith atau Al-Muntakhob fi Tafsiril Quran. Dalam bidang kaidah bahasa arab, menggunakan An-Nahw Al-Wadhih. Dalam bidang fiqh, menggunakan Fiqh Sunnah milik Sayyid Sabiq. Dalam bidang tauhid, menggunakan Risalah Tauhidnya Muhammad Abduh, dll. Kajian beliau tentang kurikulum dan metode studi Islam dalam bukunya ini cukup menarik. Hanya saja terkesan cenderung untuk mencari sisi praktisnya, meski sebenarnya beliau juga mengajak untuk menekankan prioritas (awlawiyat). Hatta laa yusyghiluhu maa huwa awla minhu (sehingga pembelajar tidak tersibukkan oleh materi tertentu padahal ada materi lain yang lebih penting untuk ditelaah), seperti menelaah kitab2 hadits nabawy, karya2 sastra arab (adab), dll. Sebagaimana beliau juga mengharapkan bahwa target akhir yang didapat oleh pembelajar adalah pemahaman yang gamblang secara menyeluruh tentang berbagai dimensi dalam agama Islam beserta maqashidnya, dan hal itu takkan tercapai kecuali melalui metode yang lebih realistis.

By the way, saya sendiri ada beberapa point yang setuju dan beberapa yang lain kurang setuju dengan pendapat beliau. Bukankah konsep ushul fiqh banyak dibangun dari teori mantiq dan ilmu kalam, lalu bagaimana kalau kedua materi tersebut disingkirkan begitu saja?

Comments

Popular Posts