Ibn Fadhlan, Sang Petualang Muslim

Literatur perjalanan ini dikarang langsung oleh Ahmad ibn Fadhlan yang menjadi perwakilan dari khalifah dinasti Abbasiyah Al-Muqtadir billah (295 H) untuk memenuhi permintaan penguasa wilayah Slavic (Shaqalibah) yang bernama Al-Musy ibn Bulthuwar (versi arab) yang ingin mengerti lebih jauh tentang agama Islam dan syariatnya, sekaligus memohon dinasti Abbasiyah untuk membangunkan benteng maupun masjid di wilayahnya. Rombongan perwakilan terdiri dari Ahmad ibn Fadhlan bersama beberapa ahli fiqh, ahli perjalanan dan rombongan pengawalnya, yang bertolak dari Baghdad pada bulan Shafar 309 H. Dan perjalanan ditempuh selama kurang lebih 3 tahun.
Yang menarik dari perjalanannya, pengarang mampu melukiskan deskripsi perjalanannya secara hidup. Seperti gambaran geografi wilayah yang dilewati, kondisi sosial masyarakat, agama dan kepercayaannya, sampai bentuk badan maupun wajah bangsa yang dijumpai (antropologi), dll. Tidak terlalu mengherankan jika sosok Ahmad ibn Fadhlan mampu mendeskripsikannya secara apik, mengingat betapa majunya peradaban ilmu yang ada di Baghdad pada saat itu.
Perjalanannya tidak lepas dari kejutan bagi Ibn Fadhlan sendiri. Betapa tidak, pertama, ia sebagai seorang muslim yang meyakini ketauhidan akan menemui aliran keperayaan bangsa lain yang penuh mitos. Kedua, ia sebagai bagian dari masyarakat yang berada dalam puncak peradabannya di Baghdad, akan melewati bangsa-bangsa yang masih semi primitif. Sebagaimana yang banyak ia sampaikan di dalam paragrafnya, ia mengungkapkan keterkejutannya dengan adat orang-orang Slavic (kawasan Eropa Timur), bahwa mereka tidak mengenal kebersihan. Mereka tidak mengenal cebok (istinja) setiap habis buang hajat, tidak mengenal mandi janabah, bahkan ada salah satu ritual keperayaan, mandi dengan air yang dicampur ludah dan kotoran-kotoran lainnya secara bergantian.
Di beberapa paragraf lain ia mengungkapkan, bahwa mereka tidak memiliki rasa malu untuk bercumbu bahkan bersenggama di depan tamu. Ia merasa kaget dengan budaya free sex yang ada di kawasan tersebut yang sangat berlawanan dengan moral budaya Islam yang ada di Baghdad. Suatu ketika saat ia bertamu di sebuah rumah, tuan rumah tanpa malu bercumbu dengan pasangannya. Ia pun mengucap istighfar sambil menundukkan pandangan. Lalu tuan rumah bercanda kepadanya; "Kalian orang arab, seperti perawan-perawan kampungan yang malu melihat pemandangan seperti ini.."

Karya Ahmad Ibn Fadhlan cukup menarik, hanya saja karyanya kurang dilirik oleh kalangan ahli sejarah Arab. Tentunya kita sendiri juga lebih banyak mendengar sosok Ibn Battuta (lhr 703 H) dari kawasan Maghrib yang berpetualang hingga wilayah nusantara yang disebutnya dengan Jawa. Atau perjalanannya Ibn Khaldun (lhr 732 H), antropolog, sosiolog dan sejarawan muslim Tunis yang terkenal dengan kitab Muqaddimah nya. Mungkin karena kitab karya Ibn Fadhlan adalah kitab perjalanan pertama yang ada dalam sejarah klasik Islam, sehingga nilai bobotnya kalah dengan para petualang Islam selepasnya. Meski begitu, ada pepatah arab mengatakan, al-fadhlu lilmubtadi wa in ahsanal muqtadi, (keutamaan ada pada perintis, meski orang yang meneruskannya lebih baik).
Betapa indahnya kondisi sosial dan peradaban masa silam Islam. Peradaban yang dibangun atas dasar wahyu dan ilmu pengetahuan. Sayang peradaban yang kita huni kini bukan lagi peradaban ilmu, melainkan peradaban mode. Artis dan selebriti lebih terpandang ketimbang ilmuwan atau orang-orang shalih. Sayangnya juga, saat muncul seorang antropolog budaya Jawa, yang muncul malah Clifford Geertz dari California. Lalu pada kemana orang-orang Muslim?
Cairo, 3 January 2007
Comments
menarik... saya baru tau tentang karya sastra yang satu ini.trm ksh.
btw, salam kenal =D