Model perfakultasan di universitas Al-Azhar

T ernyata bukan aku saja yang merasa bahwa model Fakultas untuk mendalami agama Islam kurang pas. Di satu sisi, model perfakultasan memiliki kelebihan didalam spesialisasi ilmu yang ingin didalami. Tetapi di sisi lain, model perfakultasan seperti itu membuat banyak dari dimensi ilmu islam yang sangat variatif menjadi kurang tersentuh. Fakultas Lughah Arabiyah mengkhususkan pada kajian bahasa arab, fakultas Ushuluddin berfokus pada kajian al-Quran, al-hadits, dan filsafat, dimana penjurusannya akan lebih terlihat mulai masuk tingkat 3. Begitu juga fakultas Syariah Islamiyah yang hanya berkutat pada masalah hukum Islam (fiqh). Memang ada beberapa materi tambahan yang melengkapi di tiap fakultas, namun masih saja proporsinya tidak seberapa. Misal: pada fakultas Ushuludin juga terdapat materi fiqh (materi syariah islamiyah), hanya saja proporsinya tidak seberapa, begitu juga materi Ushul Fiqh yang hanya dikaji dalam waktu satu semester saja (tingkat 4) padahal pembahasannya begitu luas sekali.

Hari ini (1 November 2006) aku ikut hadir pada materi Manahij Mufassirin (metode penafsiran) bersama Dr. Sayyid Mursi. Beliau membahas tentang periodesiasi ilmu tafsir yang dibagi menjadi tiga periode: 1) Masa Nabi SAW dan masa Sahabat RA, 2) Masa Tabi'in, 3) Masa pengkodifikasian ilmu tafsir (tadwin). Dimana setiap periode memiliki ciri-ciri tersendiri dalam metode penafsirannya. Begitu juga tokoh-tokoh maupun madrasah di setiap periode disampaikan secara eksploratif. Kemudian beliau menyampaikan tentang 5 tahap perjalanan ilmu tafsir: 1) Pada masa Nabi, Shahabat, dan Tabi'in transformasi ilmu tafsir dilakukan secara lisan dengan menggunakan sanad (talaqqi wa riwayat), 2) Pada masa pengkodifikasian, ilmu tafsir sudah mulai dikodifikasikan namun belum menjadi sebuah ilmu yang tersendiri melainkan masuk dalam bab-bab kitab hadits, 3) Ilmu tafsir sudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dan dikodifikasikan secara terpisah dari kitab-kitab hadits, 4) 5) Beliau akan sampaikan pada pertemuan selanjutnya.

Di sela-sela penyampaian materi, beliau menyinggung masalah pem 'fakultas' an yang ada di Universitas Al-Azhar. Beliau kurang setuju dengan adanya model tersebut. Beliau lebih setuju jika semua materi dari berbagai bidang ilmu Islam bisa disampaikan kepada mahasiswa secara terperinci sebagaimana yang ada pada masa beliau masih mahasiswa, yang ada hanya Qism Al-'Aly dan disitu semua bidang ilmu agama diajarkan secara detail dan terperinci, mulai dari bahasa arab, fiqh, tafsir, filsafat, dengan berbagai cabangnya, seperti fakultas Dirasat Islamiyah yang ada sekarang (Studi Islam) dalam arti lebih luas kata beliau. Bahkan menurut beliau model pem 'fakultas' an yang ada sekarang terjadi karena orientasi studi sudah diarahkan untuk 'fulus' (uang), sekelas pun dibuat gerrr setelah mendengarnya. Namun beliau melanjutkan bahwa ini memang kenyataan. Kalau dulu mahasiswa benar-benar ikhlas belajar karena Allah, mempelajari semua bidang ilmu agama (liyatafaqqahu fiddiin) meski dalam tempo yang lama dan kesabaran yang penuh.

Namun sekarang, ilmu Islam sudah dikotak-kotak, mahasiswa hanya menguasai satu bidang ilmu, kemudian lulus dengan mendapatkan ijazah (syahadah), kemudian dia bisa mencari kerja (fulus) dengan ijazah tersebut. Bahkan kalo mau, mahasiswa dengan kapasitas ilmu yang nol pun bisa menggondol ijazah, lagi-lagi dengan fulus. Mereka sudah merasa wah kalo sudah bisa membawa ijazah setinggi-tingginya. Begitu kata beliau. Kemudian beliau menjelaskan orientasi studi yang sebenarnya adalah untuk takut kepada Allah dengan mengutip ayat al-Quran ... innama yakhsyallahu min ibadihil ulamaa... Orang berilmu disebut 'berilmu' jika ia memliki rasa takut pada Allah. Jadi, meski kitabnya sudah bertumpuk-tumpuk, berwawasan luas, kapasitas keilmuannya juga mumpuni, tetapi ia tidak takut pada Allah dengan cara tidak mengamalkan apa yang diketahuinya, maka sebenarnya ia seperti keledai yang mengangkut kitab-kitab (kamatsalil himaari yahmilu asfaaraa...). Beliau melanjutkan bahwa kesalahkaprahan juga sampai pada penamaan fakultas (mustawa syakli), seharusnya bukan jurusan tafsir melainkan Quran wa Ulumuh (Quran dan ilmu-ilmunya).

Memang sebagai orang muslim didalam mendalami Islam kita membutuhkan 2 metode: 1) Metode historis, empiris, sosiologis, agar kita dapat lebih mengenal agama Islam dari luar 2) Metode normatif, agar kita juga semakin menghayati keislaman kita, semakin mantap akidah yang ada di dalam dada kita. Ilmu islam begitu luas serta memilki berbagai aspek didalamnya, tentunya materi yang ada pada bangku kuliah dengan model perfakultasan belum sanggup untuk mewakili kesemua bidang tersebut, dari situlah keberadaan talaqqi (ngaji sorogan kepada Syeikh) sangat diperlukan dengan menyesuaikan prioritas kitab yang ingin kita pelajari mengingat hampir semua bdang ilmu agama ditalaqqikan mulai dari Balaghah, Nahwu, Mantiq, Filsafat, Fiqh, Ushul FIqh, Ilmu Hadits, dll. Dan untungnya... meski pengajarnya ulama senior namun ga ditarik biaya sepeserpun untuk mengikuti pelajaran-pelajaran tersebut.

Cairo, 1 November 2006

Comments

Anonymous said…
Mudah-mudahan antum menjadi pendobrak kesalah kaprahan metode pem fakultasan ilmu agama dan meluruskannya.
Anonymous said…
@ saudara/i inoth

:) Ini cuman opini mentah saya yang sangat subyektif sekali, barangkali dibalik pengkotak-kotakan itu ada alasan logis yang belum saya ketahui..

Wallahu a'lam
(thnx 4 ur comment)

Popular Posts