Antara hisab dan rukyat



Mufti Republik Mesir Syeikh Ali Gum'ah



A
lhamdulillah umat Islam di Mesir masih bisa disatukan dengan adanya lembaga yang benar-benar terpercaya 'Dar Ifta Misriyah" yang dipimpin oleh Mufti Agung Syeikh Ali Jum'ah dan dibantu oleh Lembaga Falak Mesir yang dimotori oleh Syeikh Muhammad Syaukat 'Audah. Semuanya (yang berada di Mesir) berlebaran pada hari Selasa, 24 Oktober 2006.

Alhamdulillah juga kalo ternyata sebagian Umat Islam di Indonesia juga lebaran pada hari Selasa, sebab sesuai bayan dari Lembaga Falak Mesir bahwa hari Sabtu dan Ahad Hilal Syawal takkan dapat terlihat dari mana saja, dan andai saja ada yang melihat bisa jadi ia meliihat bintang Merkuri (utarid) dan bukan Hilal, begitu juga kesimpulan yang didapatkan dari model hisab, bahwa Sabtu dan Ahad hilal tak dapat terlihat. Jadi, hari Seninnya masih ramadlan untuk istikmal 30 hari (Mesir mulai puasa Ramadlan pada hari Ahad).

Mufti Mesir Syeikh Ali Jum'ah juga memberikan keterangan bahwa siapa yang memulai puasanya pada hari Sabtu, maka ia telah puasa sehari dari bulan Sya'ban. Semua perbedaan tersebut berakar dari masalah perbedaan pendapat fiqhiyah antara hisab dan rukyat.

Ada tiga pendapat tentang hisab dan rukyat:

Pendapat pertama


Hisab hanya bisa dipakai untuk meniadakan hukum saja. Artinya, jika ada seseorang yang mengaku telah melihat hilal namun secara hisab itu tidak mungkin, maka kesaksian (syahadah) orang itu dapat ditolak. Diantara ulama yang berpendapat seperti ini; Syeikh Taqiyudin As-Subki, Syeikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah,dll .

Pendapat kedua

Hisab bisa digunakan untuk menetapkan hukum sebagaimana bisa digunakan juga untuk meniadakannya. Artinya, jika secara hisab hilal sudah bisa ditentukan maka hukum dapat diambil tanpa persyaratan harus me'rukyat'nya dahulu. Diantara ulamma yang berpendapat seperti ini; Syeikh Abul Abbas bin Suraij, Syeikh Yusuf Qardlawy, Syeikh Musthafa Az-Zarqa, dll.


Pendapat ketiga

Hisab tak boleh digunakan baik untuk menetapkan hukum maupun meniadakannya. Artinya, jika ada yang mengaku telah melihat hilal maka kesaksiannya (syahadah) dapat diterima, meskipun secara akal dan hisab hilal tak mungkin dilihat saat itu. Salah satu sebab tak boleh digunakannya hisab menurut pendapat ini ialah karena tak ada perbedaan antara hisab dan munajjim, sedang para munajji itu dusta meskipun mereka benar. Salah satu ulama yang berpendapat seperti itu adalah Syeikh bin Baz.


Saudi Arabia sendiri, kebanyakan dari mereka banyak yang tidak mengakui model 'hisab' dan lebih mengandalkan rukyah. Jadi ketika ada satu orang yang bersyahadah telah melihat hilal, mereka meng'iya'kannya tanpa tabayun yang cukup, meski secara hisab maupun akal hilal mustahil dilihat. Pada tahun 1984, Saudi pernah berpuasa 28 hari hanya karena ada yang mengaku telah melihat hilal.

Lucunya, pada 7 Desember 1999 di negara Yaman (tetangga Saudi) ada yang telah melihat hilal sehingga Yaman akan memulai Ramadlannya pada 8 Desember 1999 , namun Saudi tak menggubris syahadah yang datang dari negara lain (meskipun berdampingan). Dan Saudi tetap memulai Ramadlannya pada 9 Desember 1999.

Ala kulli haal, andai saja umat Islam dapat disatukan dalam penentuan hilal tentunya itu sangat berarti sekali bagi kesatuan umat Islam sendiri. Berpuasa bersama, berbuka bersama, berhari raya bersama, bukankah itu sebuah idaman?

Paling tidak ada 2 solusi yang dapat mengurangi adanya perbedaan (ikhtilaf) tersebut:

1.
Hendaknya rukyat hilal dilakukan secara bersama-sama dan dilakukan oleh lembaga resmi yang sudah terakui keahlian mereka dalam ilmu falak (astronomi). Sebagaimana yang ada pada negara Maroko, mereka melakukan rukyat hilal yang dihadiri oleh hampir 3000 orang yang ingin berperan serta di setiap penjuru negaranya, dan tentunya didampingi oleh lembaga resmi yang sudah diakui keahliannya dalam ilmu falak, sehingga takkan terjadi kesilapan antara melihat hilal dengan melihat bintang-bintang yang lain (Merkuri, Mars, dll).

2. Jika ada orang (pribadi) yang mengaku telah melihat hilal, hendaknya ia ditabayun secara terperinci, seperti waktu melihatnya, lokasinya, ketinggiannya, gerakannya, dll agar terhindar dari kesaksian (syahadah) yang salah. Agar tidak terjadi kesilapan antara apakah yang dilihat itu hilal atau bintang-bintang yang lain (Merkuri, Mars, dll).

Namun, apapun perbedaan yang ada selama ia datang dengan dalil dan data serta tidak dilandasi atas kepentingan politik maupun pribadi insya Allah akan terhitung sebagai ijtihad, sebagaimana sabda Rasul SAW: Barang siapa yang berijtihad kemudian benar maka ia mendapatkan 2 pahala, dan jika salah ia mendapatkan satu pahala.

Wallahu A'lam.


Helwan, 24 Oktober 2006

Comments

Anonymous said…
salam

mas hisab itu sngat lemah, dan ru'ya;lah yang sebenarnya dianjurkan,,,,

www.agusromli.or.id
Sindbad said…
قال صلى الله عليه وسلم: "لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه؛ فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له" (رواه البخاري بروايات متقاربة)

Rasul SAW menyuruh kita untuk memulai puasa atau hari raya dengan melihat bulan. Namun, dikarenakan cuaca dan posisi bulan yang tidak selamanya mesti bisa dilihat, beliau menganjurkan untuk memperkirakannya (fa in ghumma 'alaikum faqdiruu lah). Prakiraan tersebut bisa ditempuh dengan metode hisab (perhitungan astronomi) yang derajat ketelitiannya bisa sampai pada kategori 'pasti' secara akal.

Wallahu A'lam
Sindbad said…
Betul banget bung.. Minimal ya senegara (baca: Indo) bisa bareng lebarannya, meski antar negara belum bisa..

mohon maaf lahir batin juga.. :)

Popular Posts