Industri pertelevisian yang asprek!

Asprek! Ternyata industri pertelevisian sangat penuh dengan kemunafikan. Semakin kelihatan kalau mereka cuma dagang acara demi perutnya sendiri, tanpa memikirkan nasib moral bangsa. Anak bangsa diajari untuk berbuat kriminal lewat acara buser, patroli, dll.



Pemudanya juga diajari hura-hura ala idol-idol mereka (indonesian idol, dll), bahkan tak jarang mereka rela kirim puluhan sms untuk berpartisipasi meski ia masih pengangguran. Ibu-ibunya diajari berhedonisme ria lewat sinetron-sinetron kalangan elite, yang isinya cuma cinta (dalam artian sempit), penipuan, selingkuh, hingga rebutan harta waris yang kurang mengandung pesan moral. Dan akhirnya waktu dan pikiran yang mereka miliki hanya terpenuhi oleh skenario-skenario para sutradara dan kalangan elite industri pertelevisian. Akibat yang lebih parah, para penonton tak lagi memiliki dirinya, pikiran mereka telah dikuasai oleh skenario sinetron, kuis dan iklan-iklan. Busyet!

Menurut opiniku sendiri, para selebritis juga punya andil besar dalam merusak moral bangsa. Hanya saja andil mereka tak terlalu berpengaruh tanpa bantuan dari kru-kru infotainment yang setia membuntutinya kemanapun mereka pergi, dengan harapan ada sisa-sisa kabar dari mereka yang tercecer dan akhirnya bisa mereka jual lewat acara gosip di televisi, meski kabar itu hanya sesimple cara berpakaian, sampai yang paling tidak pantas dikabarkan (tapi justru hot), yaitu perselingkuhan dan perceraian. Penonton yang dicekoki dengan kabar-kabar yang kurang primer tersebut akhirnya berpendapat bahwa selingkuh dan cerai itu adalah hal yang biasa. Naudzu billah.

Bangsa indonesia saat ini butuh perubahan dan pencerahan. Kalo orang-orang nasionalis bilang, "sekarang kita masih terjajah oleh kebodohan dan kemiskinan". Saya ingin menambahkan bahwa kita juga telah terjajah oleh televisi. Beruntunglah orang yang tak memiliki kotak penjajah ajaib (televisi) di rumahnya. Sebab mereka masih bisa sadar dan masih bisa menggunakan pikirannya sendiri, tanpa terjejali oleh iklan-iklan dan skenario 'orang-orang atas'.

Yang lebih memprihatinkan, saat ini semua segi kehidupan sudah disetir oleh televisi. Budaya bangsa kini telah terkikis oleh arus iklan-iklan, kuis, dan sinetron-sinetron hedonis. Bahkan agama, segi yang paling vital dalam kehidupan, yang melegalisir ajaran-ajarannya juga televisi.
Paranormal-paranormal tukang eksplotasi jin diundang dan dianggap sebagai ustadz, dan naifnya lagi, umat Islam banyak yang percaya.

Tanpa kita sadari, semua kesalahkaprahan itu kini telah melahirkan tradisi dalam masyarakat. Untuk mengisi kegiatan bulan Ramadlan, orang-orang lebih enjoy duduk di depan televisi, maklum acaranya kan bernuansa religius, tanpa perlu membaca Quran, tanpa capek-capek
berdzikir, apalagi qiyamul lail yang bikin kaki bengkak, mendingan nonton kuis ramadlan atau ngikuti sinetron sambil bersantai di atas sofa.

Mungkin menurut beberapa orang, zaman memang telah berubah dan memerlukan perubahan. Dan ritual dzikir pun harus diubah. Dzikir itu yang penting ingat, kata mereka. Ada juga yang bilang, bertahlil, bertahmid, atau bertakbir itu terlalu konservatif (kampungan). Malam
lebaran pun akhirnya dihabiskan dengan nonton acara musik religius daripada banyak bertakbir sebagaimana anjuran Rasul SAW. Sama-sama religius memang, namun sayang, musik religius ala televisi itu terasa kurang renyah tanpa didampingi model-model setengah telanjang di
sekelilingnya.

Masyarakat yang tidak terlalu doyan dengan televisi pun tak mau kalah dari mereka yang punya televisi. Untuk menyaingi kegembiraan mereka dalam beritual beragama, setiap kali mereka mengadakan pengajian, kiai yang mereka pilih itu harus kiai yang bisa membikin mereka terhibur, baik karena kiai tersebut pintar melucu meski dari segi keilmuan kurang mumpuni, atau karena kiai itu punya grup musik, yang bisa mengajak mereka berdendang ria. Kalaupun ada kiai yang tidak bisa menghibur, meski ia begitu ikhlas dan mumpuni, mereka akan mendengarnya dengan malas dan ngantuk. Fenomena yang banyak terjadi saat khutbah Jum'at.

Ala kulli hal, televisi memang telah berhasil mengubah budaya dan tradisi bangsa, dalam bersikap, bergaul dan beragama. Bangsa semakin ngalor ngidul mengikuti tren televisi tanpa tahu tujuan, yang beragama pun juga semakin manja tanpa mau susah dalam menjalankan agama. Orang-orang yang lugu nan ikhlas semakin tersingkir.

Saya pernah mendengar ungkapan bahwa televisi itu seperti ayam, tahinya lebih banyak dari telurnya. Harusnya MUI (Majlis Ulama Indonesia) sebagai perwakilan umat Islam dapat mangatasi problem tersebut, atau paling tidak mengimbangi arus 'penjajahan' dengan memberikan pemahaman terhadap mereka tentang skala prioritas. Ingat ! hampir 60 % orang Indonesia memiliki televisi, dan mungkin kini akan semakin bertambah. Memang masih banyak yang harus dibenahi. Wallahu A'lam

27 September 2006
Tulisan ini hanya uneg-uneg belaka dari salah seorang anak bangsa Indonesia.

Comments

Popular Posts