Hayyakumullah yaa Ustedznaa !



Sebelah atas: "Hiruk pikuk" at Ramses Railway Station
Sebelah bawah: Ustadz Abdurrahim dan Khelid beserta 2 mantan santrinya. Saya nggak ikut masuk, nasib jadi tukang photo, nggak pernah bisa ikut berpose.. hehe!

Suara ringtone panggilan membangunku dari "tidur ekstra" jam 08.00 am. Musim panas memang membuat malam semakin sempit dan siang semakin melebar.
Di layar Hp tertulis LXR ABD RAHEM calling......
Saya pencet tombol kiri hijau, dan "Salaam Aleik.. ana Abdurrahiem eluksur.. Ana l-an fi mashr wa uridu an uqabilak..." (Assalamu alaikum.. saya Abdurrahim dari Luxor, sekarang ada di Kairo, dan ingin ketemu denganmu..). MasyaAllah, dah lama nggak denger kabar dari Ust Abdurrahim dan sekarang beliau malah sudah ada di Kairo. Lalu saya balas: "InsyaAllah nanti saya kontak lagi, dan saya akan muncul di hadapanmu secepatnya! Saya sekarang sudah pindah di Helwan, bukan di Nasr City lagi.. tasyarrafna kitsiir".

Seperti biasa hari Kamis ada jadwal talaqqi di masjid Azhar. Jam 11.30 saya bergegas ke Azhar dengan tujuan bisa ketemu Suheib dkk. Kuliahnya mbolos dulu. Dan sesampai disana alhamdulilah ketemu juga. Akhirnya saya ceritakan bahwa Ust. Abdurrahim saat ini ada di Kairo. Maka, kami sepakat untuk berangkat ke lokasi Ust Abdurrahim ba'da Ashr, setelah ikut pertengahan talaqqi. Tapi Syeikh Seyyid yang ngajar talaqqi malah absen. Tapi kami tetep nunggu adzan Ashr.

Setelah Ashr kami berangkat, dan saya kontak ke Ust Abdurrahem untuk tanya lokasinya. Ternyata beliau ada di tempat yang tidak saya kenal, dan beliau usulkan supaya nanti ketemu di Stasiun kereta api Ramses saja jam 07.30 pm.

Jam 07.45 pm kami baru selesai makan bareng di Demerdash. Dah terlambat 1/4 jam. Selesai itu kami langsung berangkat ke Stasiun kereta api Ramses, dan sebelumnya nyari oleh2 dulu buat beliau untuk bekal perjalanan. Sebotol Aqua, Syipsy kentang ukuran besar, dan buah apel, saya rasa cukup untuk bekal beliau atau berdua barangkali sama kawannya.

Sampai di Stasiun jam 08.30 pm setelah terpotong nyari oleh2 transportasi dan nyari seat beliau. Dan alhamdulillah di gerbong 10 rashif (jalur) 11 kami ketemu. Dan akhirnya kami berpelukan satu sama lain untuk melepas rindu. Apalagi saya bersama dua mantan santrinya (Nurdin nggak ikut) yang bikin tambah rame untuk saling bernostalgia dengan anak2 didiknya di Sragen setahun yang lalu. Beliau menyampaikan salam buat Rama dan Ust. Adrian. Salam yang tulus dan selalu diulang2 untuk mengingatkan saya supaya menyampaikannya. Beliau juga masih ada keinginan untuk kembali mengajar di Indonesia. Beliau ingin sekali ngontak ke Rama tetapi katanya setiap kali ngontak nggak pernah masuk.

Beliau ke Kairo untuk mentasmi'kan anaknya Muhammad yang sudah hafidz Quran (umur 13 tahunan) ke Azhar Syarif bersama kawan2nya yang sama2 hafidz juga sekalian laporan ke Qitha' Ma'ahid Azhariyah (Kantor urusan ma'had Azhar) dimana beliau sampai saat ini masih menjabat sebagai kepala Madrasah Tsanawiyah di Luxor sana. Dan beliau mewanti2 andai saja Ust Adrian butuh buku2 ma'had bisa hubungi beliau.

Kereta berangkat pukul 09.00 pm. Akhirnya kami ketemu juga meskipun hanya dalam 1/4 jam, waktu yang sempit untuk saling bertukar cerita (nyesel juga tadi berangkatnya terlalu mepet..!). Terakhir beliau berpesan suruh mampir ke rumahnya setelah selesai ujian semester genap. Ust Abdurrahim masih seperti dulu, murah senyum, ramah, dan sederhana. Saya sendiri belum pernah diajar beliau, tapi saya merasa bahwa beliau adalah profil guru yang tawadhu' dan sederhana. Tak pernah beliau ngomong memakai bahasa arab amiyah, padahal kami sendiri masih sering tercampur antara amiyah dan fusha. Meski sudah pernah abroad ke Indo ngajar "di luar negeri" hampir 3 atau 4 tahun, tapi beliau tetap memilih jadi orang mesir balady tulen, atau orang sha'idy (wong ndeso kata orang jawa). Saat saya temui beliau dengan penampilannya yang sederhana memakai jalabiyah tradisionalnya lengkap dengan imamah yang dilipat di kepala, yang membuat orang sekilas tak percaya bahwa beliau pernah mengajar di Indonesia. Ya.. orang Mesir tulen yang merindukan Indonesia. Seperti juga saya kalo sudah di Indo kelak. Orang Indonesia asli yang merindukan amburadul nyentriknya Cairo... mungkin.

Hayyakumullaah ya ustedzna....

Wadi Hoff, 20 April 2006

Jalabiyah : Sebutan buat pakaian lebar menjurung ke bawah (jubah khas mesir)
Imamah : Sebutan buat kain panjang yang dilipat di sekitar kepala (mirip sorban)

Comments

Popular Posts