Sosok Penampakan (Cerpen)



Jam 12.00 am. Mataku masih saja membelalat di depan layar monitor. Tak ada suara. Selain angin gurun yang tak kenal lelah menggedor-gedor jendela kamarku dan dengungan kipas prosessor yamg setia menemani begadang ria. Ini malam ketiga dimana aku masih saja tak mampu memejamkan mata. Dua hari sebelumnya, datang seorang rekan yang menawariku mengisi sebuah kolom sastra. Sebuah kolom ringan yang bisa terselesaikan tanpa perlu membolak-balik buku ilmiah, ataupun kitab-kitab turats sebagaimana biasa dilakukan oleh para pemakalah atau pengisi kolom kajian. Ya.. sastra... Sangat mudah sekali untuk membuatnya karena disitu aku hanya bermodal dua hal. Yang pertama, idea. Kedua, kata. Jika disinergikan menjadi satu tak jarang bisa membuat dunia tertawa bahkan berduka.

Tetapi entah, kenapa minggu-minggu ini tak seperti biasanya. Aku merasa diliputi kebingungan. Hanya beberapa kata saja yang terangkai, setelah itu buntu. Aku merasa seperti ada yang kekuatan yang menghalangiku. Biasanya ide itu bisa menari di depanku dengan mudah. Kadang kutemukan tarian ide itu dalam deru bis kota, terkadang juga kutemukannya dalam sesaknya metro, yang kemudian aku catat dan aku kembangkan saat ada waktu yang tersisa. Atau terkadang ide itu muncul di sela-sela kepulan asap kopi panas yang baru aku tuangkan ke dalam cangkir. Meski begitu, ide itu tak bisa ditebak saat munculnya, sebab itulah para satrawan sangat menghargainya, mereka menanti-nanti ide seperti menanti kekasihnya. Tapi menurutku, ide itu bagaikan bis 80 coret, saat kita nanti-nantikan ia tak kunjung datang, tetapi saat kita tak membutuhkan, ia bersliweran dengan deru mesinnya yang terdengar tak lebih dari sebuah ejekan.

Sejam dua jam berlalu. Malam itu suasana semakin sepi, tetapi pikiranku tidak. Aku masih dengan sekuat tenaga memeras pikiranku untuk menangkap ide-ide yang beterbangan. Sambil sesekali mengetuk-ngetuk meja komputerku, yang ternyata tanpa kusadari suaranya semakin padat mengeras. Lalu kutatap sudut kamarku yang hanya diterangi bolam 50 watt. Remang-remang dan sangat sepi. Namun, tiba-tiba aku tersentak.. sesosok bayangan muncul. Aku jadi teringat vcd-vcd penampakan dunia lain yang dulu pernah rame di Cairo. "Wah.. nggak mungkin itu penampakan", bisikku. Tapi setelah aku amati, secara bertahap bayangan itu bermetamorfosa. Aku terus mengamatinya sambil terheran-heran. Akhirnya bayangan yang tadinya hanya warna hitam, kini menjelma menjadi sang bidadari nan jelita. Aku terperanjat kaget, seolah tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Kuseret kursiku keras-keras menjauhi sosok itu. "Hihihii..", dia tertawa melihat aku gemetaran. "Kurang ajar.. benarkah ini yang namanya penampakan?", batinku. Akhirnya kuberanikan diriku untuk melawan rasa takutku, aku yakin manusia itu diberi kekuatan lebih dibanding makhluk-makhluk lain jika aku mau menyadarinya. Akupun mencoba untuk menghilangkan segala perasaan takut yang mencengkeram diriku.

"Hei.. siapa kamu! Dan apa maumu"

"Hihiihii.. jangan takut! Aku datang secara baik-baik, dan ingin mendapat sambutan yang baik pula"

"Tapi siapa kamu! Dan apa maksud tujuanmu menyambangiku?"

"Tidakkah kau ingat padaku? Bukankah aku yang sedang kau cari saat ini? Bukankah aku yang membuatmu mengeluarkan peluh dari keningmu. Aku tahu saat ini kau sedang berpikir keras untuk menemuiku. Kini aku datang, kenapa engkau juga tak paham? Hihiiiihi..."
Aku berpikir, siapakah dia gerangan yang mengaku sebagai sesuatu yang aku cari saat ini? Setahuku aku tak pernah punya wiridan untuk menemui jin. Aku juga tak pernah menemui dukun karena aku paham jika aku mendatangi seorang dukun shalatku akan dirugikannya selama 40 hari. Lalu siapa dia gerangan? Saat ini aku tak mencari sesiapa. Setahuku aku sebelumnya hanya mencari ide-ide untuk membuat cerita sastraku. Mana mungkin ada ide yang menjelma menjadi penampakan macam itu.

"Aku tak pernah mengenalmu dan aku tidak sedang mencarimu. Setahuku saat ini aku sedang mencari sebuah ide untuk ceritaku. Mengakulah kau sebelum aku usir dengan paksa. Tentu kau juga tahu bagaimana bacaan ayat kursi bisa membakarmu"

"Ooo.. ternyata kau mengancamku ya.. Baiklah, akan kuberitahu. Aku bukanlah jin penampakan seperti yang kau pikirkan. Aku adalah ide. Akulah yang saat ini sedang kau cari, dan kini sudah berada di hadapanmu.. "

Aku heran, bagaimana mungkin ada ide yang muncul manjadi sosok penampakan seperti itu. Seumur hidupku aku tak pernah mendengar sebuah penampakan ide seperti ini. Ah.. tapi tak apa-apa. Toh, berarti aku akan dapat segera menyelesaikan ceritaku berkat kehadirannya.

"Baiklah kalo begitu, saat ini aku memang sedang mencarimu. Lalu bagaimana kamu akan membantuku?"

"Katakan saja apa yang ingin kau tulis"

Mulutku spontan mengungkapkan file-file lama yang telah melapuk di pikiranku tanpa kusadari dengan deras. Pikiranku seperti diobok-obok dan memuntahkan ingatan-ingatan lama lewat mulutku.

"Aku ingin membuat sebuah cerita bertema sosial dengan setting masyarakat grass root yang akhir-akhir ini semakin menderita. Ketidakadilan seringkali membuat mereka merana. Belum lagi bencana alam banjir dan tanah longsor yang semakin melengkapi putaran kedukaan mereka"

"Ya.. bukankah kau sudah menemukannya? Tinggal kau kembangkan lagi sehingga bisa jadi sebuah cerita yang enak dibaca"

"Tapi aku membuatnya bukan untuk memberikan kenyamanan buat para pembaca. Aku ingin membuat para penguasa sakit hati setelah membaca ceritaku. Agar mereka marah dan kemudian sadar atas kebijakan-kebijakannya yang bersifat sepihak. Juga agar para pembaca semakin menghargai kondisi mereka dan membantunya untuk bangkit dari keadaan yang sulit ini. Sebab baru saja kudengar dari berita, bahwa para nelayan di daerah pantura kini hanya makan nasi sehari, itupun nasi aking, hanya karena tak mampu melaut sebab harga bensin tak sesuai dengan hasil kerja melautnya"

"Ah.. itu sih dah biasa.. Bukannya sejak dahulu masyarakat grassroot memang begitu dan sudah biasa jadi korban para penguasa. Itu sudah sesuatu yang maklum yang tak perlu diceritakan lagi. Bikinlah cerita yang lebih bersifat entertainment, supaya orang tidak jemu membacanya. Yang namanya sastra itu kan buat hiburan, buat isi waktu senggang. Kalo kamu malah bikin cerita yang serius, itu namanya kau mencuri waktu mereka. Sebab mereka yang lelah bekerja, hanya memiliki sedikit waktu yang tersisa untuk membaca. Jika kau kasih cerita yang serius dan menyedihkan, berarti kau telah mencuri sisa waktu mereka"

"Tidak.. menurutku ceritaku yang bertemakan sosial masyarakat bawah ini tetap harus diceritakan. Jaman ini memang jaman edan menurutku. Di sudut sana banyak orang menangis kelaparan. Di sudut sini orang tertawa terpingkal-pingkal sambil makan di Mc Donald. Aku tak akan membagi waktu tertawa buat mereka. Aku harus menjejali pikirannya dengan penderitaan. Supaya mereka belajar merasakan penderitaan orang lain"

Kutatap pandangannya. Kurasa dia sedikit marah dengan ucappanku dan nadaku yang terkesan ngeyel. Tapi bagaimana lagi. Aku tak mungkin menyerah lalu menerima usulannya yang terkesan naif bagiku. Menurutku, masyarakat bawah tetap harus diperjuangkan. Tak mungkin orang senegeri hanya mau membaca sastra yang bersifat entertainment saja. Paling tidak sebagian dari mereka juga akan membaca ceritaku. Aku hanya ingiin menggiring opini bangsa supaya kembali memikirkan masyarakat bawah tanah. Jika tak aku mulai dari diriku sendiri mana mungkin opini itu akan terbentuk.

"Aku tahu saat ini kau memiliki mood yang lain.. Yaitu mood sukacita, hingga uulanmu terkesan ingin mengajakku tuk sekedar bersukacita. Dan aku yakin kau sebagai ide, membutuhkanku untuk merangkaikan sebuah cerita seperti yang engkau inginkan. Cerita yang sifatnya entertainment tentunya. Betulkah seperti itu?"

"Ya... benar. Bukan maksudku untuk memasungmu memiliki sebuah cerita sosial seperti itu. Pikirkanlah juga tentang moment. Saat ini momentnya kurang tepat untuk bersedih, dan perasaanku mengatakan yang demikian"

Kurang ajar.. sejak kapan aku didekte oleh ide itu sendiri.. Aku agak ragu apakah sosok bidadari itu adalah ide itu sendiri. Atau sosok makhluk lain yang entah aku sendiri belum tahu apa wujudnya. Andai saja dia adalah ide, lalu bagaimna mungkin ia memasung pikiranku. Setahuku, ide itu justru membuka jalan, dan terkesan bebas mengalir. Bukan memaksa dan memasung seperti ini. Akupun semakin ragu terhadapnya. Apakah dia benar-benar ide atau justru yang penghalang ide?

Dengan nada keras akupun membentaknya:
"Dengar perkataanku! Aku tak ingin didekte oleh siapa saja! Termasuk kamu wahai makhluk penipu! Aku ingin bebas menyampaikan apa yang menurutku benar... Aku takkan takluk dengan makhluk penipu sepertimu. Kau tak lebih dari ssseeeee...eett...."

"Stop!", balas makhluk yang mirip bidadari itu memutus kata-kataku. Suaranya cukup mirip suara gangsing yang mendesing di telinga. Ia semakin marah dan balas membentakku:

"Hoi.. Dimana kau taruh otakmu! Tidakkah kau ingat puisi cinta Magdalenamu. Bukankah sang Magdalena itu aku. Tidakkah kau ingat solilokui mesra Julietmu. Bukankah Juliet itu aku. Ya.. itu aku.. sebab semua obyek cinta dalam karyamu tak lebih hanya khayalan belaka. Dan akulah khayalan itu. Khayalan dan ide yang selalu didamba para tukang sastra. Kini aku tahu ternyata tukang sastra hanya penggombal belaka! Kalian cuman terjerat kata-kata. Saat ini aku benar-benar datang padamu dengan wujud nyata bukan sekedar maya. Tapi malah justru kau mengkhianatiku. Bah!.. Gooommmbaaa...aaallll !"

Kami pun terdiam, dan kata gombal itu masih mengiang di telingaku.


Wadi Hoff, 28 February 2006

(This story is fully dedicated for idea and ... imagination)

Comments

Fathoni said…
Dari tulisan antum saya belajar bahwa ide dapat menjadi pemacu gerak dan juga memperpanjang angan-angan. Ia buah dari gerak hati, perasaan dan mungkin juga lamunan. Ketika akal dan aturan mewarnai ia akan menjadi begitu kuat dan menjadi sandaran beban berat dan menguatkannya. Ketika perasaan mewarnai kepekatannya ia menjadi pemuas yang ianya lemah.

Popular Posts